Asal Mula Perkembangan Agama Buddha di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang dianggap strategis, karena terletak diantara dua benua dan dua samudera. Hal itu yang menyebabkan pada zaman dahulu Indonesia di jadikan sebagai jalur pelayaran yang strategis antara India ke China ataupun sebaliknya, banyaknya pedagang China dan India melalui Indonesia menyebabkan adanya pengaruh kebudayaan baik dari India maupun dari China. Para pedagang itu juga tidak semata-mata melakukan perdagangan di wilayah Nusantara, akan tetapi mereka juga berperan dalam proses penyebaran agama pada saat itu khususnya Hindu dan Buddha. Hindu merupakan agama yang dianggap sebagai agama paling tinggi kedudukannya saat itu, karena mereka mengenal system kasta sehingga yang bisa mempelajarinya hanyalah kalangan tertentu saja. Sedangkan Buddha merupakan agama yang tidak mengenal kasta, sehingga dapat menyebar dengan merata tanpa memandang suatu kalangan atau pun kasta tertentu. Masuknya agama Buddha di Indonesia itu sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut, namun itu hanyalah perkiraan kedatangan para pedagang dari India atau pun dari China. Sedangkan bukti-bukti yang menyebutkan adanya orang Indonesia yang memeluk agama Budha itu sekitar adab ke-4 M.

Ditemukan Prasasti dan Ruphang Buddha (Abad ke-4) Sebuah Prasasti berasal dari abad ke-4 dekat bukit meriam di Kedah, sebuah lempengan batu berwarna ditemukan di satu puing rumah bata yang diperkirakan mungkin merupakan kamar bhiksu Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa Sanskerta ditulis dengan huruf abjad Pallawa tertua. Tulisan yang kedua dari lempengan batu tersebut berbunyi : ” Karma bertambah banyak karena kurang pengetahuan dharma Karma menjadi sebab tumimbal lahir Melalui pengetahuan dharma menjadikan akibat tiada karma Dengan tiada karma maka tiada tumibal lahir.” Bukti-bukti tertua dikatakan sekitar tahun 400 M., di Kalimantan Timur, dilembah-lembah Sungai Kapuas Mahakam dan Rata, terdapat tanda-tanda lain dari pengaruh India terlihat dalam bentuk patung Buddha dalam gaya Gupta.

Sebelum abad ke-5, di Kedah Sulawesi, Jawa Timur dan Palembang, patung-patung Buddha gaya Amaravati ditemukan (ini dihubungkan dengan tempat-tempat tertua, Amarawati di Sungai Kitsna kira-kira 80 mil dari pantai timur India, adalah negeri aliran besar patung Buddha yang berkembang dari tahun 150 sampai 250 M.), namun adanya negara Buddha di daerah-daerah itu belum ada yang mengetahui tentang kemungkinannya. Sebuah kerajaan bernama Kan-to-li juga disebut oleh orang-orang tionghoa. Tahun 502 seorang Raja Buddha telah memerintah di sana dan tahun 519 putra raja Vijayavarman mengirim utusan ke Tiongkok. Kerajaan ini diperkirakan berada di Sumatera.

Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7. Berapa lama Srivijaya telah ada sebelum itu masih merupakan suatu dugaan. Letak kerajaan Srivijaya di Sumatera Selatan mungkin sekali di Minangatamwan di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (sekitar Palembang).

Catatan-catatan berharga berupa prasasti-prasasti bila dikumpulkan menunjukkan adanya kerajaan kerajaan Buddha di Palembang. Prasasti-prasasti itu adalah : Prasasti yang tertua ialah Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang dapat dipastikan tahun Saka (=13 April 683) menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang berangkat dari Minangatamwan. Prasasti yang ke-2 ialah Prasasti Talang Tuo (dekat Palembang) yang memperingati dan pembuatan taman Criksetra (taman umum) didirikan tahun 684 atas perintah Raja Dapunta Hyang Srijayanaca sebagai kebajikan Buddha untuk kemakmuran semua makhluk. Semua harapan dan doa dalam prasasti itu jelas sekali menunjukkan sifat Agama Buddha Mahayana. Prasasti yang ke-3 didapatkan di Telaga Batu tidak berangka tahun. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertuliskan Siddhayatra (=Perjalanan Suci yang berhasil) dan dari Bukit Siguntang di sebelah Barat Palembang ditemukan sebuah arca Buddha dari batu yang besar sekali berasal dari sekitar abad ke-6. Prasasti ke-4 dari Kotakapur (Bangka) dan yang ke-5 dari Karang Berahi (daerah Jambi hulu), keduanya berangka tahun 686 M.

I-Tsing dua kali datang ke Srivijaya I-Tsing (634-713) seorang pendeta Buddha dari negeri Tiongkok yang terkenal dalam perjalanannya ke India pada tahun 671. Dia mengatakan, dia berlayar dari negeri Tiongkok ke Srivijaya dengan kapal saudagar Persia. Pelayaran selanjutnya ke India dengan kapal Raja Srivijaya. Di Srivijaya sebelum pergi ke India ia belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Ini membuktikan betapa pentingnya Srivijaya sebagai pusat untuk mempelajari Agama Buddha Mahayana pada waktu itu. Ia mengatakan di Srivijaya ada lebih dari 1000 biksu, aturan dan tata upacara mereka sama dengan di India demikian juga Agama Buddha Mahayana yang ada di negeri Tiongkok.

Tahun 685 I-Tsing setelah belajar selama 10 tahun di Universitas Buddha Nalanda di Benggala, ia kembali ke Srivijaya dan tinggal di sana sekitar 4 tahun untuk menterjemahkan teks Agama Buddha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Ia juga mencatat Vinaya dari Sekte Sarvastivada. Tahun 689 karena keperluan mendesak akan alat-alat tulis dan pembantu, ia pulang ke Canton Selatan, kemudian ia kembali ke Srivijaya dengan 4 orang teman dan tinggal di sana untuk merampungkan memoirnya tentang Agama Buddha pada masanya. Memoir ini diselesaikan dan dikirim ke Tiongkok tahun 692, dan tahun 695 ia kembali ke Tiongkok. Bersamaan waktu dengan I-Tsing juga teman-temannya dari Tiongkok sebanyak 41 bhiksu yang mahasiswa datang belajar Agama Buddha Mahayana di Srivijaya. Adalah sangat disayangkan bahwa tidak terdapat peninggalan buku-buku Agama Buddha Mahayana dari Zaman Srivijaya sebagai pusat pendidikan Agama Buddha yang bernilai internasional pada masa itu.

Selain kerajaan Srivijaya, masih banyak kerajaan-kerajaan lain yang bercorak Buddha di Indonesia. Seperti kerajaan Tarumanegara, Mataram kuno, dan lain sebagainya. Semua kerajaan itu berperan dalam proses perkembangan agama Buddha di Nusantara, pengaruh India pada masa kerajaan-kerajaan itu sangat terasa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bangunan-bangunan peribadatan seperti candi-candi dan sebagainya. Agama Buddha di masa itu memang sedikit banyak terpengaruh oleh agama Buddha dari negeri asalnya tersebut, karena corak dari patung Buddha tersebut mencirikan patung-patung Buddha di India.

Namun pada perkembangannya sampai saat ini, pangaruh India kian memudar. Justru pengaruh dari negeri Tionghoa-lah yang paling mendominasi Agama Buddha sampai saat ini, terbukti dari bentuk patung, tempat sembahyangnya maupun seluruh ornamen dalam Agama Buddha saat ini lebih didominasi unsur Tionghoa ketimbang dari India. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang Tionghoa yang Bergama Buddha yang berdagang di Nusantara sejak zaman dahulu, sehingga proses perkembangan agama Buddha lebih banyak di dominasi oleh kebudayaan orang Tionghoa ketimbang dari India.

Menurut kami Agama Buddha itu sampai di Indonesia pada awalnya berasal dari India, akan tetapi dalam perkembangannya agama Buddha lebih di dominasi oleh pengaruh China. Pada saat ini pula orang-orang yang memeluk agama Buddha di Indonesia kebanyakan adalah orang-orang “Keturunan” China, dibandingkan dengan orang-orang “Keturunan” India maupun masyarakat Pribumi sendiri. Seputar Berita

Related

Berita-unik 4763262703615207818

Facebook

Hot in week

Highlights

The Slider

Casino online indonesia

Facebook

health

judi bola online

Content Dewasa

item